Sabtu, 26 Desember 2015

cerpen



Merah Darahku, Putih Tulangku
                Mentari cerah diufuk timur menandakan semangat pagi hari. Semangat ku mengayuh sepeda untuk berangkat ke sekolah. Namaku Ratih, Ratih Puji lengkapnya. Hari ini hari bersejarah buatku. Senin, 10 November 2012. Karena nanti aka nada upacara peringatan hari pahlawan.

            Aku memang orang yang ngefans pake BGT dengan bung karno. Jadi, setiap kali ada hari-hari berkaitan dengan kepahlawanan dan perjuangan. Aku selalu semangat 45. Sampai sekolah aku meletakkan sepada aku di bagian paling luar, Maklum saja aku kan murid teladan (telat datang pulang duluan)

            Baru saja aku melangkahkan kaki kanan ke dalam gerbang , eh ada penjajahan di depan mataku. Ya Ardi ketua geng di sekolahku , lagi-lagi murid tak berdosa jadi korbannya. Namanya stres…. Eh Sutris maksudnya. Langsung saja aku hampiri mereka.

    “woe…… stop…..!!!!! “ teriakku

Mereka hanya melongo melihatku. “kenapa kalian diam” Tanyaku.

   “kalau gue teriak Auo Auo di sangka tarsan keles” Jawab Ardi

  “Oh iya ya…. Lepasin sutris. Gak berperi kemanusiaan ya kalian.” Ucapku

  “Ya enggak lah. Kita itu berperi bidadari” Ucap Amri salah satu teman Ardi.

  “Tapi kan sutris juga teman kalian. Ya jangan di jajah gitu donk.” Belaku

  “Gak usah jadi pahlawan kemagriban loe.” Ucap Ardi

  “Pahlawan kesiangan boss.” Ucap Amri membenarkan

  “suka-suka gue donk. Mau pahlawan kemagriban kek, kesiangan, ke sorean, ke malaman. Hak-hak gue.” Ucap Ardi  cerewet

   “ya, sebahagiamu aja bos.” Ucap Amri

   “Udah… Udah kenapa malah kalian yang ribet sih.” Ucap ku

   “Sok tau loe… kecintaan loe ama sejarah gak menjadikan loe pahlawan buat orang lain. Sejarah itu ya sejarah. Sekarang itu ya sekarang.” Ucap Ardi

            Aku emosi mendengar perkataan Ardi. “Eh, Ardi loe apa gak sadar?. Hidup itu berkaca pada sejarah yang telah terukir indah. Dan berhenti menatap masa depan yang buta.” Ucap ku

     “Sok jadi guru loe. Loe ngajarin kita tentang hidup. Apa loe ngerti tentang hidup loe sendiri ?” Tanya Amri

     “Aku gak ngajarin apa-apa kok, Aku cuma melakukan yang Galileo Galeleni katakan  bahwa seseorang tidak bisa mengajarkan seseorang apapun, Aaku hanya membantu menemukan sebuah pengetahuan yang ada pada dirimu.” Balas ku

            Mereka tardiam mendengar ucapku. Bel upacapun telah berbunyi. Kita seemua bubar menuju halaman untuk mengikuti upacara bendera.

            Upacarapun telah dimulai. Saat-saat dramatispun tiba yaitu saat pengibaran bendera. Kita hormat pada sang saka merah putih. Ku lihat kanan kiri, teman-teman ku hanya tertunduk. Entah apa yang mereka fikirkan. Mungkin mereka malu pada diri mereka sendiri. Mereka malu, mereka tidak punya semangat merah putih dalam hati. Mereka tidak sadar akan merah keberanian dan putih tentang kesucian.

            Kulihat Sutris menangis. Aku penasaran kenapa ia meneteskan air mata. “Sutris udah jangan sedih…!!!” Ucapku . “Sutris, kenapa kamu menangis?” Tanyaku. “hihihi Dari pada aku ketawa di sangka orang gila. Mending aku nangis aja.” Ucapnya santai. “haaaa…??? Memang sutris itu setres.”Ucapku

            Semuanya pun berakhir. Tidak ada penjajahan lagi di sekolahku. Ardi dan Amri pun telah insyaf sepertinya. Mungkin mereka sadar bahwa sejarah itu kenangan. Sejarah itu pengalaman. Dan sejarah itu cerita masa lalu yang terukir indah. Dari semua itu aku mengenal beberapa prinsif hidup. Yaitu jangan menunggu  bahagia baru tersenyum tapi tersenyumlah agar kamu bahagia. Jangan menunggu kaya untuk bersedekah tapi bersedekahlah maka kamu akan semakin kaya. Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan semakin termotivasi. Dan yang terakhir jangan menunggu di pedulikan baru peduli dengan orang lain tapi pedulilah maka banyak orang yang mempedulikanmu 

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates