P
|
elabuhan
Sesaat
Seorang pengusaha muda
mengunjungi kekasihnya, seorang wanita muda yang sederhana. “tapi aku datang
tidak sebagai kekasihmu,” kata pegawai muda itu, “aku datang kemari sebagai
seorang klien yang minta solusi untuk segala kerusuhan yang melanda dihati.”
Wanita muda yang angun dan
cantik itu, tidak terkejut. Ia menatap kekasihnya dari simpang meja, lalu
menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
“apa yang anda inginkan,
tuan?”
Pengusaha muda tertegun.
“Adinda bertanya padaku?”
“Ya, kepada kamu, bukan
sebagai kekasihku, tetapi kamu sebagai ujung dari pencarian pendamping hidup
untuk melabuhkan hati ini.”
Pengusaha muda itu
tersenyum.
“Baik, kalau begitu, Anda
mengerti maksudku.”
“Tentu saja. Aku juga
pernah merasa seperti kamu. Dan aku juga berani, bukan berarti mengorbankan
sesuatu untuk mendapatkan sesuatu demi kepentingan pribadi, namun dengan
perjuangan penegakan keadilan. Keadilan yang diminta dan diinginkan setiap
wanita dimana kekasihnya dapat adil membagi waktu antara urusannya dengan
kekasihnya.”
Pengusaha muda itu
tersenyum kembali. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang dan meraih tangan
kekasihnya, hening telah mencair oleh
senyuman dan tatap mata yang beradu.
“Aku datang tidak untuk
menentang atau memuji Anda. Anda dengan sejarah anda memang terlalu besar untuk
di bicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederet koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda
lakukan. Dan aku terlalu lemah untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas
untuk memuji. Kau yang selalu berhasil menenangkan, menenangkan dan meluluhkan
aku.”
Wanita muda itu meringis.
“Aku suka kau menyebut
dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh
sebagai profesional, Pemburu keadilan.”
“Itu semua juga tidak
lepas dari perhatian dan pelatihan yang kau berikan!”
Wanita muda itu tertawa
“kau sudah mulai lagi
dengan puji-pujianmu!” potong wanita muda itu.
Pengusaha muda terkejut.
Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
“Tidak apa. Jangan surut.
Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,” sambung wanita muda menenangkan,
sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu
sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak
kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya seperti mata
air.”
Pengusaha muda diam
beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih
tenang.
“Aku datang kemari untuk
mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
“Tidak! Sama sekali
tidak!”
“Bukan juga karena uang?!”
“Bukan!”
“Lalu karena apa?”
Pegawai muda itu
tersenyum.
“Karena aku menyukainya.”
“Dan dia menyukaimu?”
“Tidak ada hal lain selain
menyukainya, Yang bayangnya pun terus membuntuti dan seakan tidak mau pergi.
Upaya untuk menghindar, itupun sudah kulakukan. Demi menjaga perasaanya itulah,
aku menerimanya sebagai kekasihku.”
Wanita muda itu termenung.
“Apa jawabanku salah?”
Wanita itu menggeleng.
“Seperti yang kamu katakan
tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan
kalau kamu menerimanya, kamu akan kehilangan aku yang lebih dulu bersamamu.
Jangan pernah meremehkan perasaan sekecil apapun itu. Aku sudah paham dan kenal
kamu, bila kau tak ingin menyesal.”
“Perkara saja belum mulai,
bagaimana bisa tau aku akan menyesal.”
“Sudah bertahun-tahun aku
hidup sebagai konsultan. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun semua belum mulai.
Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu
terlalu besar untuk kalah saat ini.”
Pengusaha muda itu tertawa
kecil.
“itu pujian atau
peringatan?”
“Pujian.”
“Asal anda jujur saja.”
“Aku jujur.”
“Betul?”
“Betul!”
Pengusaha muda itu
tersenyum dan manggut-manggut. Si wanita memicingkan matanya dan mulai menebak.
“Tapi kamu masih
mencintaiku, bukan?”
“Tentu! Kenapa tidak?!”
“Baik, kalau begitu kau
kembalilah bekerja, karena jam istirahat sudah habis!”
Pengusaha muda yang masih
tersenyum itu berdiri menuju pintu.
“Ya tentu, aku akan
kembali bekerja dan kembali menemuimu besok. Yang perlu kau tahu, bahwa
cintanya padaku mungkin belum sebesar cintamu, yang pada akirnya akupun akan
kembali padamu, jadi kau tak perlu takut, bukan?”
“Tentu.”
Wanita muda itu ikut
tersenyum dan
melambaikan tangan seraya
menutup pintu. Dalam hatinya muncul firasat-firasat yang berkecamuk dan
membuatnya kian tak tenang, apakah yang akan terjadi, mungkinkah benar apa yang
dirasakannya selama ini, segala perubahan-perubahan yang muncul dari
kekasihnya itu. Dan benarlah apa yang dikatakan wanita muda itu,kemudian semua menjadi
kenyataan. Dengan mudah pengusaha muda itu dipecundangi dan dimanfaatkan oleh
kekasih barunya, setelah pengusaha muda itu bangkrut dan terjatuh dari segala
usaha yang sudah dibangunnya selama ini. Kekasih barunya meninggalkannya dengan
tertawa terkekeh-kekeh, menertawai kebodohan kekasihnya dan merayakan
kemenangannya dengan pesta semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara.
Wanita muda yang mendengar
kabar tentang semua yang terjadi pada kekasihnya, ikut terharu dan prihatin,
dia tidak pernah menyangka akan begitu keadaannya.
“Setelah kau datang
sebagai seorang pengusaha muda yang gemilang dan meminta aku berbicara
profesional, kekasihku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu
dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang kekasihku. Bukankah
sudah aku ingatkan, aku rindu pada kekasihku. Lupakan kamu bahwa kamu bukan
saja seorang profesional, tak ingin kau mendengar apa kata seorang kekasih pada
kekasihnya?
0 komentar:
Posting Komentar