Jumat, 27 Mei 2016

pelabuhan sesaat



P
elabuhan Sesaat
Seorang pengusaha muda mengunjungi kekasihnya, seorang wanita muda yang sederhana. “tapi aku datang tidak sebagai kekasihmu,” kata pegawai muda itu, “aku datang kemari sebagai seorang klien yang minta solusi untuk segala kerusuhan yang melanda dihati.”
Wanita muda yang angun dan cantik itu, tidak terkejut. Ia menatap kekasihnya dari simpang meja, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
“apa yang anda inginkan, tuan?”
Pengusaha muda tertegun. “Adinda bertanya padaku?”
“Ya, kepada kamu, bukan sebagai kekasihku, tetapi kamu sebagai ujung dari pencarian pendamping hidup untuk melabuhkan hati ini.”
Pengusaha muda itu tersenyum.
“Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku.”
“Tentu saja. Aku juga pernah merasa seperti kamu. Dan aku juga berani, bukan berarti mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu demi kepentingan pribadi, namun dengan perjuangan penegakan keadilan. Keadilan yang diminta dan diinginkan setiap wanita dimana kekasihnya dapat adil membagi waktu antara urusannya dengan kekasihnya.”
Pengusaha muda itu tersenyum kembali. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang dan meraih tangan kekasihnya,  hening telah mencair oleh senyuman dan tatap mata yang beradu.
“Aku datang tidak untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan sejarah anda memang terlalu besar untuk di bicarakan.  Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederet koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu lemah untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memuji. Kau yang selalu berhasil menenangkan, menenangkan dan meluluhkan aku.”
Wanita muda itu meringis.
“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu keadilan.”
“Itu semua juga tidak lepas dari perhatian dan pelatihan yang kau berikan!”
Wanita muda itu tertawa
“kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” potong wanita muda itu.
Pengusaha muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
“Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,” sambung wanita muda menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya seperti mata air.”
Pengusaha muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
“Aku datang kemari untuk mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
“Tidak! Sama sekali tidak!”
“Bukan juga karena uang?!”
“Bukan!”
“Lalu karena apa?”
Pegawai muda itu tersenyum.
“Karena aku menyukainya.”
“Dan dia menyukaimu?”
“Tidak ada hal lain selain menyukainya, Yang bayangnya pun terus membuntuti dan seakan tidak mau pergi. Upaya untuk menghindar, itupun sudah kulakukan. Demi menjaga perasaanya itulah, aku menerimanya sebagai kekasihku.”
Wanita muda itu termenung.
“Apa jawabanku salah?”
Wanita itu menggeleng.
“Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu menerimanya, kamu akan kehilangan aku yang lebih dulu bersamamu. Jangan pernah meremehkan perasaan sekecil apapun itu. Aku sudah paham dan kenal kamu, bila kau tak ingin menyesal.”
“Perkara saja belum mulai, bagaimana bisa tau aku akan menyesal.”
“Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai konsultan. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun semua belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini.”
Pengusaha muda itu tertawa kecil.
“itu pujian atau peringatan?”
“Pujian.”
“Asal anda jujur saja.”
“Aku jujur.”
“Betul?”
“Betul!”
Pengusaha muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Si wanita memicingkan matanya dan mulai menebak.
“Tapi kamu masih mencintaiku, bukan?”
“Tentu! Kenapa tidak?!”
“Baik, kalau begitu kau kembalilah bekerja, karena jam istirahat sudah habis!”
Pengusaha muda yang masih tersenyum itu berdiri menuju pintu.
“Ya tentu, aku akan kembali bekerja dan kembali menemuimu besok. Yang perlu kau tahu, bahwa cintanya padaku mungkin belum sebesar cintamu, yang pada akirnya akupun akan kembali padamu, jadi kau tak perlu takut, bukan?”
“Tentu.”
Wanita muda itu ikut tersenyum dan
melambaikan tangan seraya menutup pintu. Dalam hatinya muncul firasat-firasat yang berkecamuk dan membuatnya kian tak tenang, apakah yang akan terjadi, mungkinkah benar apa yang dirasakannya selama ini, segala perubahan-perubahan yang muncul dari kekasihnya itu. Dan benarlah apa yang dikatakan wanita muda itu,kemudian semua menjadi kenyataan. Dengan mudah pengusaha muda itu dipecundangi dan dimanfaatkan oleh kekasih barunya, setelah pengusaha muda itu bangkrut dan terjatuh dari segala usaha yang sudah dibangunnya selama ini. Kekasih barunya meninggalkannya dengan tertawa terkekeh-kekeh, menertawai kebodohan kekasihnya dan merayakan kemenangannya dengan pesta semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara.
Wanita muda yang mendengar kabar tentang semua yang terjadi pada kekasihnya, ikut terharu dan prihatin, dia tidak pernah menyangka akan begitu keadaannya.
“Setelah kau datang sebagai seorang pengusaha muda yang gemilang dan meminta aku berbicara profesional, kekasihku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang kekasihku. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu pada kekasihku. Lupakan kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tak ingin kau mendengar apa kata seorang kekasih pada kekasihnya?

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates